Kepanikan Penguasa dan Etika Pemerintahan

Anonim
Ahmadi Sofyan Penulis ulung

TANJUNGPANDAN || WARTAPERS.COM - Yang berbeda dianggap lawan, segala kritikan dianggap sedang membenci, dan bagi yang tidak memuji dianggap kelompok pencaci maki. Sedangkan bawahan dianggap tidak loyal, walau berkinerja baik dan inovatif plus jujur akan diperlakukan “dimatikan kariernya”, diambil kewenangannya dengan cara “dianggurin”. Pokoknya “Sekawayok” Anda-lah!.


Dalam tulisan sengaka menggunakan kalimat 'penguasa', bukan 'pejabat' apalagi 'pemimpin'. Sebab makna dari tiga kata itu sangat jauh berbeda. 


Menurut hemat pikir saya, (bukan dari mbah google atau kamus apapun), Pejabat dalam pemerintahan, perupakan pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kepangkatan dan kariernya. Memiliki aturan dan sistem yang harus dipenuhi dan ia menjalakan struktur organisasi yang sudah ada.

PJS Kepri Siap Gelar Musda, Pelantikan dan Seminar Nasional di Batam

Sementara Penguasa, merupakan makhluk yang memimpin sekaligus menguasai tanpa ada batasan sistem apapun, kecuali kepada sendiri. Tentunya demikian itu, memiliki kekuasaan penuh terhadap kekuasaannya. Terkait siapa yang bisa mejadi penguasa,maka siapa pun bisa menjadi penguasa, misalnya dengan melakukan penguasaan terhadap organisasi, wilayah, maupun lainnya.


Berbeda dengan pemimpin, yang lebih pada jiwa seseorang bijak dan menggunakan hati serta kedewasaan.


Seorang pemimpin bisa tanpa jabatan maupun kekuasaan. Artinya, semisal jiwa kepemimpinannya menyatu dalam diri dan karakter, secara otomatis seseorang itu akan diikuti, karena keteladanan diri dan intergitas yang dimilikinuya.


Makanya ditemui, sosok orang-orang yang tidak memiliki jabatan apapun, wilayah kekuasaan dimana pun, tapi seseorang itu diikuti dan diteladani. Bahkan sering dijadikan barometer dilingkungan sosial. Puncaknya, sosok orang yang tidak memiliki jabatan maupun kekuasaan wilayah ini, seringkali disebut Tokoh.


Namun kali ini, yang kerap dipersoalkan, seringkali seseorang pejabat dan penguasa tidaklah menjadi tokoh, sehingga sulit dijadikan teladan baik. Artinya seorang pejabat tersebut bersikap sebagai seorang penguasa.


Jadi jangan salah, apa bila banyak berpandangan buruk pada pejabat yang berkuasa itu. Contoh pada ada titik nadirnya, mumpung berkuasa, maka memanfaatkan kekuasan tersebut untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, kemewahan dan “ketaipauan” tingkat “begereng” sehingga isteri dan anak-anak berperilaku OKB (Orang Kaya Baru).

Ridwan Husen Resmi Pindah Partai, Dari PDIP ke PKN

Tidak hanya itu, pada tingkat nadir selanjutnya adalah jabatan dan kekuasaan tersebut ia jauh dari etika dalam tata kelola pemerintahan. Misalnya, yang berseberangan dianggap musuh, gerbong saya atau gerbong musuh.


Semua yang berbeda dianggap lawan dan segala kritikan, dianggap sedang membenci. Bahkan bagi yang tidak memuji, bakal dianggap kelompok pencaci maki. Tidak luput juga, bawahan dibawah kekuasaannya akan “dimatikan kariernya”, diambil kewenangannya dengan cara “dianggurin”.


Meminjam istilah cantik dari senior yang notabene sebagai Wartawan dan Penulis produktif, Ichsan Mokoginta Dasin; "Ketika sepah belum kehabisan manisnya," Seorang penguasa bisa dilihat dari “keringol”-nya.


Adapun beberapa ciri kepanikan puasa itu, diantaranya; yang diucapkan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Kebijakan yang dibuat, umumnya terlihat untuk mengembalikan citra diri, bukan introspeksi diri, sehingga ia tidak bisa lagi membedakan mana yang teh botol mana alkohol, atau mana teh kotak mana arak dan lebih parah tidak bisa membedakan mana roti mana kotoran. Sehingga yang bagus tersingkirkan, yang menjilat justru diangkat.


Umumnya, ini salah satu ciri kekuasaan yang akan runtuh dan tidak akan bertahan lama, sebab tanpa disadari, pemerintahan semacam ini justru menciptakan “musuh” dan semakin meluas, terlebih orang-orang yang pernah dekat yang sudah dijadikan “musuh”.


Runtuhnya kekuasaan yang maha dahsyat seperti Fir’aun, Josef Stalin, Mikhail Gorbachev dan banyak lagi contoh lainnya. Apalagi hanya sekedar penguasa lokal di wilayah yang “seuprit” alias secuil. 

KPK Mulai Mengendus Asal Usul Harta Tak Wajar Milik Walikota Pangkalpinang

Justeru kepemimpinan di bumi Melayu, misalnya di daerah-daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, seharusnya bersikap merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek dan kepada oposisi atau orang berseberangan harus menggunakan argument bukan sentiment.


Tapi pada kenyataannya, kerapkali kita saksikan justru sebaliknya, setiap yang berseberangan semakin dibuat dinding yang kian kokoh sebagai sekat.


Integritas, Loyalitas dan Isi Tas (Mewah)

SEORANG berjiwa penguasa terlebih ia memiliki jabatan, maka setiap perbedaan akan sangat sulit diterima. Dalam berbicara selalu mengumandangkan “loyalitas”, yang sangat gampang dimaknai bahwa dirinya hanya membutuhkan soal “loyalitas” semua bawahan dan rakyat.


Karakter masyarakat Sumatera, termasuk Bangka Belitung adalah masyarakat egaliter. Wilayah ini, tidak ada loyalitas tanpa intergritas. Sebab kelas merunduk, kelas ngesot, apalagi menyembah bukanlah tipikal masyarakat Sumatera terlebih Bangka Belitung. Disini semua dianggap sederajat.


Loyalitas hanya bisa diciptakan ketika sang pengucap atau peminta tersebut memiliki integritas. Tapi jika loyalitas hanya bermodalkan pencitraan dan ucapan belaka, maka bernilai kemunafikan. Sehingga tidak akan pernah hadir dalam relung-relung jiwa para bawahan yang bermental pemberani dan pemilik integritas.


Seorang penguasa yang hanya bermanis ria dan seribu senyum dalam slogan, namun antara slogan dan kenyataan seperti jauhnya api dari tungku, maka tidak akan pernah “matang” dalam kekuasaan tersebut.


Sebagaimana penguasa, pejabat, dan pemimpin yang saya maksud di atas, integritas, loyalitas dan isi tas termasuk suatau hal yang bisa mencapai popularitas seseorang.


Tinggal pilihan kita, memilih popularitas tersebut karena integritas dan loyalitas, apakah karena isi tas dan tas itu sendiri? Ah, disini kita bisa menilai. Terlebih ternyata isi tas (mewah) itu merupakan kebun sawit ratusan hektar, rumah kost berpintu-pintu, rumah mewah plus kolam renang, dan mobil mewah di luar wilayah kekuasaan, dan masih sangat buanyak lagi lainnya.


Nah, kita saksikan akhir-akhir ini flexing yang dilakukan isteri dan anak para pejabat negara ternyata menjadi salah satu pintu masuk KPK dalam mengungkapkan kebobrokan oknum pejabat. Sebab, bukan barang mewah itu yang menjadi tujuan, namun jual beli jabatan, suap pengusaha (investor), upeti-upeti bawahan yang dikumpulkan dan diserahkan setiap bulan dengan angka fantastis, serta semua pemasukan yang “non halal”.

Ditolak Saat Hendak Konfirmasi Hutan Lindung, Wartawan Situbondo Justru Dilecehkan

Kita tunggu, bahwa KPK benar-benar ada khususnya di Kepulauan Bangka Belitung, agar menjadi kewaspadaan dan kehati-hatian bagi semua calon pejabat (hasil Pemilu 2024) dan pejabat yang ada sekarang ini.


Jadilah pemimpin, bukan sekedar pejabat, apalagi penguasa. Bersikaplah merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek dan gunakan argument bukan sentiment.


Satu lagi, antara ucapan hendaknya seirama dan sejalan dengan keperibadian. Itulah integritas!

Salam Intergitas!

Ahmadi Sofyan, dikenal populer dengan panggilan “Atok Kulop”. Telah menulis lebih dari 80 judul buku dan 1.000 (seribuan) lebih opini di berbagai media cetak maupun online. Ia disebut sebagai Pemerhati Budaya dan kerapkali mengisi materi atau seminar baik di tingkat lokal maupun nasional. Saat ini kesehariannya banyak diisi di kebun.

Penulis: Ahmadi Sofyan

Narahubung: Hendy

Editor: Aus

Posting Komentar